Senin, 07 November 2011

5cm, Dari Novel ke Film

-----
-----
Waktu pertama kali bilang ke Genta, Arial, Zafran, Riani dan Ian kalo “5 cm” mau dibikin filmnya mereka pada teriak: HOREEE!!!…
Tapi abis itu mereka pada diem…
Banyak orang yang udah baca novel trus liat filmnya pada kecewa, karena tidak sebanding dengan yang apa mereka harapkan. Jadi gimana? Apa sebuah novel itu susah kalo mau diangkat ke film? Apa ada novel yang sebagus filmnya atau sebaliknya bagusan filmnya daripada novelnya.
Gue sendiri waktu nonton Harry Potter sedikit kecewa karena tidak sesuai dengan bayangan yang ada di benak gue. Aduh kok Hogwarts nya begitu ya, dumbledornya Harry Potternya, Quiditchnya, jadi enakan baca novelnya. Tapi ada juga temen yang udah baca novelnya bilang filmnya lebih bagus.
Trus ada juga lho dari film terus dijadiin novel (novelization) filmnya Peter Weir (director), “DEAD POET SOCIETY” skenarionya (Tom Schulman) malahan dapet Oscar.Filmnya dapet nominasi untuk Best Picture & Best Actor in a Leading role (Robin Williams). Novelnya ditulis oleh Nancy H Kleinbaum berdasarkan movie scriptnya.Nah lho?!Jadi gimana? Bagusan novel apa Film.. yuk mari..

KALO NOVEL?

Iya gak sih kalo kita lagi baca novel, enak nikmatinnya di sore yang indah atau lagi mau tidur atau lagi sendirian. Kalo saya sih senengnya pagi pagi sambil sarapan (sape yang nanya Don?). Mungkin teman-teman yang lain punya waktu favorit masing masing untuk nikmatin novel.
Trus kalo baca novel itu masing masing kita pasti punya bayangan sendiri tentang tokoh utamanya, tempat bernama Middle Earth, Shire, Frodo, Minas tirith, Gondor, Elf dan lainnya. Dan saat kita membaca novel hampir semua panca indera kita bekerja secara simultan tetapi jauh di alam bawah sadar kita. Sehingga kerja otak kita akan menjadi lebih baik. Karena zat-zat itu terus berlari larian “mengasah” otak neuron neuron kita pun nyetrum kesana kemari. Jadi kalo kata orang dulu bilang bener, baca itu bikin kita pinter. (orang dulu itu siapa ya?)
Dengan kata lain novel itu bersifat sangat pribadi semuanya mengalir secara pribadi. Imajinasinya pribadi, rasanya pribadi, begitu subjektifnya kita sehingga kalo novel itu bagus banget semua panca indera kita merasakan hal yang sama. Makanya pengen baca lagi baca lagi baca lagi nggak bosen bosen.

KALO FILM?

Film sifatnya lebih menghibur. Kebanyakan orang nonton film di bioskop supaya bisa terhibur, nonton dengan teman pacar saudara keluarga. Tertawa bersama, sedih bersama, keren deh pokoknya. Jadi film itu basicnya dibuat untuk konsumsi bersama bukan pribadi. Dalam konteks ini panca indera kita bekerja secara langsung mendengar melihat dan merasakan sekaligus berbagi dengan yang kita ajak nonton. Alam bawah sadar kita tidak bekerja terlalu banyak.
Terjadi interaksi dari sifat dasar manusia yang ingin berbagi, makanya banyak orang yang abis nonton merasakan sesuatu yang fun! Asik dalam diri mereka. Makan kalo cowok ngajak nonton pertama kali cewek gebetannya pasti nyari film komedi, biar ketawa bareng bareng. (licik kan?) Makanya Cowok yang lagi haus belaian ngajak ceweknya nonton film horor atau film romantis biar dipeluk-peluk. Makanya kalo pacaran banyak yang nonton karena secara tidak sengaja dan disengaja mereka mulai berbagi..(Cieee). Berbagi Pop corn maksudnya…
Buat sebagian orang juga film kadang bersifat personal ada yang seneng nonton film sendirian – bukan di bioskop (seperti saya). Kadang dalam kesendirian itu kita bisa merasakan refleksi dan pencerahan yang mendalam dan ikut terhanyut di dalamnya. Waktu nonton The Godfather berkali kali saya seperti menjadi bagian emosional value dari keluarga Corleone… (I’ll make him an offer he can refuse..! Bang bang!). Begonya saya, saya bisa marah marah sendiri kalo ada temen yang bilang The Godfather biasa aja… Darah sicilian saya langsung keluar dan BANG! BANG! BRUG! saya tembak dia di jidat… “Leave the Gun take the Canoli…” (why so serious? damn!).
Dalam konteks ini film menjadi sebuah irisan yang sama dengan novel bersifat pribadi. Individu seperti ini akhirnya menjadi subjektif (seperti saya lagi) jadi suka bete sendiri kalo ada orang yang berpersepsi lain tentang film yang sama. Suka marah-marah sendiri kalo film yang dipuja habis-habisan ditonton dan dikomentari biasa biasa aja. Ya tapi nggak papa lah karena setiap orang kan punya persepsi yang beda, lo harus terima Don!

Dari Segi Penciptaan

KALO NOVEL?

Saya sebagai seorang penulis novel yang banyak diterima oleh masyarakat luas (halah!). Merasakan kalo novel emang sangat personal kita bisa menulis mau maunya kita. Kita bisa mendeskripisikan karakter semau maunya kita, bisa ngacak ngacak plot sampai kebingungan sendiri. Bisa buang buang halaman gak jelas biar disangka pinter sama yang baca. Terserah deh! pokoknya itulah keajaiban sebuah trance tulisan yang terjadi kadang nggak sadar kalo kita bisa nulis sebagus itu. Berapa halaman pun kita habisin bodo amat mau dibikin mahkluk mutan kayak gimana juga, nanti juga ada proses editingnya. Tulisan di novel selalu bersifat humanis karena kadang keluar begitu aja melanngar segala rambu rambu. Dan biasanya hal yang kayak gitu menjadi tulisan yang keren dan yang keren banget. Penulis novel biasanya nggak peduli sama aturan (yang peduli sama aturan pasti nggak jadi jadi tulisannya-hahaha). Jadi kebebasan sepenuhnya dalam mengapresiasikan kata perkata adalah hal yang sakral dan kadang muncul tidak terduga…
Seperti kata Hemingway…
“Writing is an Adventure… it’s not about to finish something… it’s about finding something…”
(Menulis adalah sebuah petualangan, bukan tentang menyelesaikan sesuatu tetapi tentang menemukan sesuatu) JHRENG JENG
Jadi kadang dalam sebuah novel kita bisa merasakan ekskalasi hubungan yang Faboulus, Anynomous, Miscelaneous in somekind of way that… jiwa kita tumpah kedalamnya dan kita mau baca lagi… baca lagi… dan baca lagi… tulisan yang keren adalah ketika si penulis menulisnya lagi trance dan yang bacanya juga ikutan trance… dan subjektivitas pun diangkat menjadi raja bernama Kebebasan. Tulisan di novel adalah sebuah kebebasan.

KALO FILM

Nah ini dia dari segi penciptaan, Novel dan film bukan seperti langit dan bumi lagi tapi intibumi sama langit ketujuh (Lo bikin hiperbola tapi jelek Don, sumpah!) Dalam penciptaan sebuah film, ada banyak hal yang harus dipertimbangkan, diperdebatkan ,sampai harus berantem-berantem berdarah darah. (film-film nggak jelas juntrungannya – faktor pengalinya adalah nol – diabaikan).
Sebuah film adalah kerja tim dari banyak sekali faktor di belakangnya dan biasanya setiap faktor terintegrasi dengan sum yang berbeda (saya lagi mencoba cerdas). Faktor faktor ini nantinya bersinggungan dan terjadi irisan yang akan membuat soul dari sebuah film keluar dari irisan masing masing dan membentuk jiwa film yang komplit.
Sebuah vektor vektor kecil dan rumit yang akhirnya menjadi bagian kecil yang memorable (HIP!) sesuatu yang nggak penting menjadi penting dan sesuatu yang penting diam disana menanti irisan itu datang kepadanya, jadi deh himpunan yang lengkap. (nggak ngerti? sama!)
Film adalah sebuah kerja tim, ada produser, sutradara, penulis skenario, editor, sinematografi, kostum, sound, CGI (computer generated Image – udah pada tahu Don!) masih banyak lagi ngantri berharap disebutin liat aja di credit akhir film. Banyak bener!
Tapi dari yang saya baca dan cari cari… (makanya saya berani nulisnya)
Kalo mau dipersempit lagi sebenarnya ada tiga orang yang sangat penting dalam film yang dari tiga orang ini akan ketahuan filmnya akan jadi seperti apa. Ketiga orang inilah yang nantinya akan membawa irisan masing masing ke irisan besar yang komplit ketiga orang itu adalah Produser, sutradara, dan penulis (Yes! Yes! Yes! Penulis Men! Penulis!).
Sering disebut sebagai triangle system, bukan triangle vector tapi system karena mereka harus berpikir mereka adalah bagian dari system. Kerja tim dalam film harus dalam sebuah system, kalo yang satu ngaco semuanya ngaco. Kalo nggak ngaco pasti ada leader yang kekuatannya super sehingga system system yang bekerja jelek itu tunduk padanya. Taoi ini gak bagus buat kelanjutan kerjanya, karena system gak kerja…
Ketiga orang inti itulah yang jadi jiwanya, makanya kalo di opening credit biasanya disebutin produsernya, penulis baru sutradara terakhir, mulai deh filmnya, Trus katanya biar adil waktu end credit urutannya dibalik. (katanya)
Karena lagi ngomongin bedanya novel sama film dan irisannya adalah di tulisan dan saya nggak punya kapasitas untuk membahas sutradara dan produser kita bahas dunia penulisan di film aja ya..
Kadang masyarakat kurang menghargai keberadaan seorang penulis skenario padahal dari mereka sebuah cerita berawal. Biasanya film akan mulai berjalan produksinya setelah skenarionya di lock. Dari skenario itulah bisa dihitung budget, tempatnya dimana aja, porsi dialog, CGInya soundnya, editingnya, lokasi shootingnya berapa pemerannya, figurannya Pokoknya skenario adalah kitab awal dari sebuah film.
Secara (alah secara) saya sedang belajar nulis skenario makanya saya baca baca melulu tentang penulisan skenario. Dari yang saya cari cari , baca bca dan ubek ubek, ternyata menulis skenario itu punya satu kata kunci yang jelas dan bold no itallic! Kata itu adalah: DISIPLIN! (Damn! you don’t have it Don!- lagi belajar…)
Format skenario yang udah umum biasanya adalah satu lembar sama dengan satu menit. Jadi kalo filmnya dua jam berarti 120 lembar. Lo bayangin aja pren! “5 cm” kan 380 halaman lebih! gua harus bikin jadi 120 lembar, paling banyak 135 lembar kata produsernya (geleng-geleng- itu kan masalah lo DON!)
Keren kan! DISIPLIN…!!! Nah disinilah ujian bagi penulis skenario yang harus menulis skenario dari buku/novel makanya dibilangnya adaptasi. Adaptasi, ini kata kuncinya. JHRENG JENG
Antara kebebebasan di novel dan Disiplin di skenario nggak akan bisa ketemu makanya dua duanya harus beradaptasi. Keren juga ya analisa gue…
Kira kira begini, (takut salah) Di novel mah gue bisa ngabisin halaman ceritain Genta dan teman teman semau gue… Tambah tambahin dikit biar dikira pinter sama yang baca. Di skenario nggak bisa. Beberapa puluh halaman di novel harus dijadikan cuma beberapa menit tapi tujuan yang dicapai harus sama makanya dituntut kreativitas super matrix untuk nerjemahinnya. Kalo nggak punya kreatifitas yah kayak di sinetron (bahkan ada lho di film) kalau mau ditemuin.. ditabrakkin di slow mo in buku ceweknya jatuh diambilin sama cowoknya, kenalan deh (cieeh)… Atau abis tabrakan guling gulingan di rumput padahal halaman rumputnya luas banget nggak mungkin tabrakan beneran deh! Ada tuh di film apa gitu ada 3 orang tokoh utamanya mau ditemuin, tiga tiga nya ditabrakin… ( menghina kecerdasan banget sih!). Gitu tuh gara gara punya waktu selembar semenit males mikir yang lebih bagus. Males kreatif, ya udah tabrakin aja. (pyuk yaw)
Coba kita tengok (tengok?) TITANIC. Waktu Jack liat Rose pertama kali, mereka langsung bertatapan – memorable banget kan? Jack di dek kelas ekonomi lagi ngelukis dan Rose di deck kelas atas. Jack liat rose yang begitu cantiknya (oh.. Kate! Lob you dah!) Dan fabrizio temennya Jack bilang “udah yang begituan bukan untuk kita nggak mungkin”. DASH! Belom belom udah utopis..
Dan saat mereka ketemu bukan ditabrakin (walaupun akhirnya Titanic tabrakan sama gunung es –maksudnya Don?) Saat mereka ketemu ROSE mau bunuh diri. Kan keren banget dah tuh James Cameron… dan keluarlah Quote fanastis tis tis mereka “you jump I jump!” nih itu baru…super QUOTE! Dateng dari kreatifitas si penulis (pasti lagi trance).. bangga kan lo? Hebat!
Nyasar nyasar ke Titanic. Balik lagi ke skenario. Waktu baca baca buku buku tentang skenario (lupa namanya ribet bahasa inggris) ternyata setiap skenario itu ada yang namanya Three (3) Act. Kalo diterjemahin ke Bahasa Indonesia adalah Drama tiga babak. Jadi skenario (film) itu yang ada dan masih sering dipake sampe sekarang ada tiga babaknya. ACT I adalah pengenalan karakter dan konflik, ACT II adalah konfilknya, naik turunnya berdarah darahnya survivingnya, sementara di ACT III adalah resolusi dan solusinya. Kalo sesuai dengan porsinya, contohnya durasi filmnya 120 menit berarti Act I 30 menit, ACT II nya 60 menit dan ACT III nya 30 menit.
Dan di tiap ACT ada sub ACT lagi yang pembagiannya hampir sama makanya kadang kadang di ACT I udah ditampilin adegan yang amazing supaya penonton jadi penasaran dan terhanyut (alah terhanyut..) untuk terus ngikutin filmnya. Gitu sih teori dasarnya tapi banyak juga yang diobrak abrik dan bagus juga jadinya. 3 ACT kadang dipake cuma buat landasan aja. Salah satu contoh yang ACT nya nggak lazim adalah Kill Bill dan Pulp Fiction dua duanya yang bikin Quentin Tarantino.
Hampir semua film komersial memakai format 3 ACT ini sebagai dasar walaupun terkadang batasnya blur. Tetapi kadang secara naluriah karena yang nulisnya tacit knowledgenya udah embodied ke tulisannya 3 ACT ini kebentuk sendiri sama penulis. Lain halnya kalo kita bicara film film indie ada sih sedikit 3 Act nya, ada yang nggak pake, tapi banyak yang tidak terlalu memusingkannya. Ya udah lah..

HIP!

Penulis skenario juga harus peras otak untuk bikin setiap adegan jadi amazing dan tidak biasa. Biasanya film film yang keren AMAZINGnessnya ini (sebut aja HIP!) – Hipnya ini kejaga dari awal sampai akhir. Kita ambil lagi contoh dari Titanic, akan biasa aja kalo Jack naik ke Titanic melenggang begitu aja karena emang udah punya tiket. Tapi penulisnya (James Cameroon) bikin dia naik ke Titanic gara gara menang poker! Terus di Finding Nemo akan biasa aja kalo si nemonya cuma Clownfish yang standard tapi di Finding Nemo Andrew Stanton penulisnya bikin HIPnya, dibuatlah sirip si Nemo kecil sebelah, dan bapaknya NEMO clownfish yang serius alias nggak bisa ngelawak..

Jadi gimana Dong Don skenario 5 cmnya?

Yang pastinya sih lagi memeras otak abis abisan, Karena saya dengan sotoynya lagi mencoba nulis sendiri skenarionya karena jarang banget ada penulis novel yang handle skenarionya juga. Dari yang saya baru tahu Cuma Mario Puzzo (alah Dooon lo bandingin diri lo sama Mario Puzzo – biarin!) Mario Puzzo dibantu Francis Ford Copolla nulis skenarionya dari Godfather I sampai Godfather III, makannya kali The Godfather SAGA sukses berat. Mungkin begitu juga nantinya dengan “5 cm” (halah)… udah lah yang penting usaha dulu..
Udah deh kepanjangan. OK! Dari tulisan di atas mungkin bisa diambil sedikit kesimpulan kalo. FILM dan Novel adalah dua jenis species yang berbeda Novel adalah embeee dan Film adalah Kuda jadi embeee sama kuda – BEDA! dinikmatinya juga dengan cara yang beda.
Ada saatnya kita menikmati novel dan ada saatnya kita menikmati film. Dua duanya punya kelebihan dan kekurangan masing masing, tergantung persepsi masing masing . Isi Kepala setiap orang tidak pernah sama. (Masa sih? Iya ya? Iya?)
Jadi Rugi Ah! Kalo kita repot repot berargumen bagusan novelnya atau bagusan filmnya, jadi bates batesin funnya, ya nggak? Kenapa? Karena novel adalah secangkir kopi hangat di pagi hari ditemani bau embun dan tanah basah. Dan film adalah teh hangat yang dinikmati diantara renyahnya canda tawa teman teman di sore hari yang hangat. Begitu kira kira menurut kesotoyan saya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar